scenery

scenery

Minggu, 09 Oktober 2011

Dan Akhirnya, Petani Kita Hanya Bisa Menjadi Buruh

Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang secara sah telah telah menyatakan keterlibatannnya dalam perdagangan bebas. perdagangan bebas di Indonesia pada kenyataannya hanya marak pada tataran wacana, sementara pasca legalisasi, entitas ekonominya sepi seperti tidak mengerti atas substansi dan implikasi perdagangan bebas. Secara teoritis perdagangan bebas merupakan pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi global, dan pembiasan batas-batas sosial, ekonomi, ideologi, politik, dan budaya suatu negara atau bangsa (Tjiptoherijanto).

Bangsa Indonesia adalah negara yang kaya raya, ladang investasi yang potensial dan Ekspor Indonesia pun dapat mencapai US$ 77 milyar / tahun (Subianto, 2010). Oleh sebab itu, menjadi hal yang wajar jika eksistensinya akan selalu menjadi pusat perhatian dan perburuan Negara maju yang miskin akan sumber daya alam. Berdasarkan berita dipikiran rakyat tahun 2004 dalam Setiawan (2004), Indonesia diprediksi mampu menjadi Negara terkaya ke-5 di dunia, jika mampu menggali secara optimal dan mengatur pengeluarannya. Optimisme tersebut jauh sebelumnya pun diketahui semua negara maju, untuk itu mereka yang merasa terancam akan senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang tidak mendukung ke arah itu. Instabilitas politik dan eksploitasi sumberdaya dalam mendorong kelangkaan akan semakin menggejala di era globalisasi.

Menurut Fakih (2001) diacu dalam Setiawan (2004), perdagangan bebas pada hakekatnya bertumpu atas paham ekonomi neo-liberal. Para penganut ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan dicapai dengan “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif merupakan implikasi dari trash bahwa “free market” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga yang berlaku merupakan indikator apakah sumberdaya yang ada masih berlimpah atau sudah langka. Harga yang tinggi berarti sinyal positif bagi investasi. Implikasinya, mereka berusaha keras untuk menciptakan berbagai kelangkaan sumberdaya di negara dunia ketiga. Prosesnya dilakukan melalui invisible hand dan keluar dari cengkraman kebijakan pemerintah. Oleh karena itu mereka memandang proteksi, subsidi, dumping, paham keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat, kearifan lokal dan sebagainya sebagai patologi ekonomi neo-liberal. Untuk itu mereka akan berusaha secara langsung maupun tidak langsung menghapus berbagai kebijakan suatu negara yang dapat merintanginya.

Internasionalisasi produksi dan penguasaan ruang dalam distribusi sebagai gejala globalisasi diprakarsai lewat perubahan kebijakan pembangunan nasional kearah integrasi dengan kebijakan internasional. Pertanian (pangan) dan pertambangan (bahan bakar) merupakan dua sektor yang menjadi fokus utama dari integrasi internasional, dan karena keduanya merupakan determinan lahirnya perdagangan bebas. Adapun ideologi dan politik, tidak lebih hanya sekedar pembungkus dari want yang sesungguhnya bertumpu pada natural resources. Inti dari globalisasi sesungguhnya tidak berbeda dengan imperialisme atau kolonialisme, yaitu penguasaan bahan baku (Malthus). Menurut Adam Smith, Singer, Arndt, dan Becker, jalan menuju globalisasi adalah human capital.

Saat ini, di Indonesia akan mengembangkan program food estate nasional (perladangan pangan skala besar). Program food estate merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis pangan dunia. Harga pangan di pasar dunia mengalami kenaikan pesat sehingga dapat mengancam pemenuhan kebutuhan pangan yang paling mendasar, dapat menghambat pengentasan kemiskinan, meningkatkan instablitas politik dan ekonomi serta mengancam keamanan global. Banyak negara saat ini mulai mengekspansi lahan kebutuhan pangannya ke luar negeri untuk mengantisipasi kebutuhan pangan pokok di negaranya masing-masing. Tiongkok, Korsel, Mesir, Libya, dan lainnya. Investor Tiongkok telah banyak membeli maupun menyewa lahan di Kazakhstan. Sementara India sudah menggarap lahan di Uruguay dan Paraguay, dan negara seperti Libya serta Mesir menggarap lahan di Ukraina (Muqowam, 2010). Program food estate ini merupakan bagian dari sistem globalisasi (yang masih berkaitan dengan perdagangan bebas) yang sudah dirancang secara halus oleh perusahaan-perusahaan raksasa (Trans Nasional Corporations (TNCs)). Adapun modus TNCs adalah ekspansi produksi, ekspansi pasar, dan ekspansi investasi, yang didesakkan lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi.

Pendirian kebijakan free market yang mendorong swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, dan menyingkirkan birokrasi (parasit). Trans Nasional Corporations melalui pendekatan agribisnis dengan menghadirkan keragaman istilah yang sepertinya berbau pemerataan, seperti Contrac farming, rice estate, corporate farming dan sebagainya. Dengan demikian, perbudakan dan pemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan para petani kecil (Setiaawan, 2004). Seharusnya sejarah menjadi pembelajaran untuk kita semua, akankah penjajahan terulang kembali pada PETANI KITA dengan dilakukan program food estate ini?? Pada tahun 1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria (Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani mandiri berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal abad ke 19 (VOC bangkrut).

Food estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Peraturan pemerintah No.18 tahun 2010 tentang budidaya tanaman merupakan payung hukum pengembangan pangan skala luas (food estate). PP No.18 tahun 2010 tentang budidaya tanaman membolehkan investor termasuk asing untuk menguasai lahan seluas 10.000 Ha. Jangka waktu penguasaan 35 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 35 tahun dan 25 tahun. Selain menyediakan legitimasi lewat aturan, pemerintah juga menjanjikan fasilitas khusus untuk investor yang akan mengembangkan food estate.

Berdasarkan hal tersebut, dikhawatirkan mengingat petani Indonesia sebagian besar merupakan petani gurem, maka yang akan lebih menguasai/ mampu menjadi investor dan mengelola lahan adalah orang-orang yang mempunyai modal, baik pihak swasta maupun asing yang mempunyai kepentingan masing-masing yang pada hakekatnya banyak yang bermodus ekploitasi (ex; kasus Freport). Dan akhirnya, petani kita hanya bisa menjadi buruh, sehingga kesejahtraan merekapun peningkatannya tidak signifikan bahkan mungkin bisa menurun. Menurut UNDP (1999) melaporkan bahwa ketimpangan antar petani kaya dengan petani miskin semakin meluas setelah diberlakukannya perdagangan bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan saran dan kritik,