scenery

scenery

Selasa, 15 Maret 2011

VONIS 7 TAHUN UNTUK GAYUS,
SEBUAH DRAMA MAFIA PAJAK YANG SANGAT MELUKAI RASA KEADILAN MASYARAKAT
Setelah melalui persidangan yang panjang, mulai dari dakwaan sampai pembuktian, disertai dengan unjuk giginya Mafia Pajak Gayus Tambunan seperti jalan-jalan ke Bali, Ke Luar Negeri dan komentar-komentar yang kontroversial, maka Rabu 19 Januari 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Memutus bersalah Gayus Tambunan dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda 300 juta rupiah jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Gayus 20 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah subsidair 6 bulan penjara.

Melihat rekam jejak Gayus Tambunan sebagai mafia pajak dengan uang milyaran rupiah beserta rumah dan kekayaan lainnya serta tingkah Gayus yang jalan-jalan ke Bali bahkan keluar negeri, tentunya mengakibatkan masyarakat marah dan merasa Gayus harus diberikan hukuman yang seberat-beratnya, namun itu semua kemudian sirna karena akhirnya Majelis Hakim hanya memberikan hukuman penjara tujuh tahun. Banyak masyarakat yang mengekspresikan lewat akun jejaring sosial facebook dan twiter yang menyatakan kekecewaan atas vonis tersebut dan bahkan banyak yang menulis lebih baik menjadi mafia pajak karena hanya dengan 5 tahun jadi Mafia bisa mengumpulkan uang milyaran rupiah dan hukumannya pun cukup ringan 7 tahun penjara. Tentunya ini adalah sebuah ekspresi yang wajar ditengah permasalahan ekonomi yang sulit, ternyata hukum belum memberikan jawaban terhadap permasalahan rasa keadilan masyarakat.



Untuk itu, perlu diketahui pula, mengapa hakim memberikan putusan Vonis 7 Tahun penjara, apakah pembuktian oleh jaksa penuntut umum belum mampu meyakinkan hakim sehingga secara pembuktian hukum memang layak hanya diganjar 7 tahun penjara atau memang ada permainan hakim disana?

A. Teori Sistem Pembuktian.
Pembuktian merupakan sebuah proses dalam beracara dalam sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Ada beberapa sistem pembuktian yang dikenal, antara lain:

I. Conviction-in Time
Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam system ini.

II. Conviction Raisonee
Dalam system inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam system pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam conviction in time, peran keyakinan hakim tidak dibatasi, maka dalam conviction rasionee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas.

III. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Dalam sistem pembuktian ini, “keyakinan hakim tidak ambil ikut bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Artinya sistem pembuktian menurut undang-undang positif ini berlawanan dengan sistem pembuktian conviction in time, dan berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga ketika alat bukti sudah sah menurut undang-undang, maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempertimbangkan keyakinan hakim

IV. Pembuktian Menurut Undag-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Teori merupakan keseimbangan antara system pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan system pembuktian menurut keyakinan (conviction in time). Sehingga dalam system pembuktian secara negtif ini, salah tidaknya seseorang ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

B. Pembuktian Dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materil dimana hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum berusaha membuktikan sebuah kasus dengan sebenar-benarnya. Pembuktian dalam hukum positif Indonesia diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut KUHAP.

Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan: : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa system pembuktian yang ada di Indonesia saat ini adalah system pembuktian menurut undang-undang secara negative. Selain berdasarkan 2 alat bukti yang sah, ia juga harus diyakini kebenarannya oleh hakim. Kemudian dalam Pasal 184 ayat (1) disebutkan secara rinci atau limitatif alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat,petunjuk dan keterangan terdakwa.

C. Pembuktian Gayus Tambunan
Tanpa bermaksud mempengaruhi indpensi hakim, karena idealnya kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dari hal-hal diluar hukum, maka kita dapat melihat bahwa hakim telah menyatakan bahwa;

• Gayus terbukti melakukan korupsi saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT). Sebagai pelaksana di Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak, Gayus tidak teliti, tidak tepat, tidak cermat, serta tidak menyeluruh sebelum mengusulkan menerima keberatan pajak. Selain itu, hakim menilai Gayus telah menyalahgunakan wewenang. Akibat diterimanya keberatan pajak itu, hakim menilai negara dirugikan sebesar Rp 570 juta. Terkait kasus itu, hakim menjerat Gayus Pasal 3 Jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

• Terkait perkara kedua, menurut hakim, Gayus terbukti menyuap penyidik Bareskrim Polri sekitar 760.000 dollar AS melalui Haposan Hutagalung selama proses penyidikan tahun 2009. Suap itu agar dirinya tidak ditahan, rumahnya di kawasan Kepala Gading, Jakarta Utara, tidak disita, uangnya di rekening di Bank Mandiri tidak diblokir, serta agar diperbolehkan diperiksa di luar Gedung Bareskrim Polri. Dalam pertimbangan, hakim menilai pencabutan keterangan di berita acara pemeriksaan saksi-saksi terkait suap itu tidak beralasan hukum. Terkait kasus itu, majelis menjerat Gayus dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.

• Dalam perkara tiga, menurut hakim, Gayus terbukti memberikan janji uang sebesar 40.000 dollar AS kepada Muhtadi Asnun, ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara di Pengadilan Negeri Tangerang. Dari uang itu, sebesar 10.000 dollar AS akan diserahkan kepada dua hakim anggota. “Uang itu untuk memengaruhi putusan,”. Terkait perkara itu, hakim menjerat Gayus dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.

• Dalam perkara keempat, menurut hakim, Gayus terbukti memberikan keterangan palsu terkait asal usul hartanya senilai Rp 28 miliar di rekening yang diblokir penyidik. Uang itu diklaim hasil pengadaan tanah di daerah Jakarta Utara, antara Gayus dan Andy Kosasih.

• Menurut hakim, uang Rp 28 miliar itu patut diduga hasil dari tindak pidana korupsi selama berkerja di Direktorat Jenderal Pajak. Terkait perkara itu, hakim menjerat Pasal 22 Jo 28 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.

Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum telah terbukti dan menjadi dasar keyakinan hakim bahwa Terdakwa Gayus Tambunan bersalah. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa Gayus hanya diberikan putusan 7 Tahun Penjara dan Denda 300 juta rupiah jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni 20 Tahun Penjara dan Denda 500 Juta Rupiah subsidair 6 bulan penjara.

D. Putusan 7 Tahun Penjara Gayus Melukai Rasa Keadilan Masyarakat
Ada yang aneh memang dalam putusan 7 Tahun Penjara Gayus, karena dalam pertimbangannya Majelis Hakim mengatakan bahwa “Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang bersih korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai Pegawai Negeri Sipil di Ditjen Pajak menghambat pemasukan pajak untuk pembangunan”, kemudian hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, punya anak-anak yang masih kecil, dan berusia relatif muda sehingga diharap bisa memperbaiki kelakuan di kemudian hari.

Memperhatikan hal yang memberatkan dan meringankan, serta hal-hal yang memperlancar jalannya persidangan, maka majelis hakim mengatakan tidak sependapat dengan tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Maka majelis hakim akan menjatuhkan pidana dengan pidana yang layak patut dan sesuai dengan penuntut umum bukan balas dendam tapi pembinaan,” dan keluarlah putusan 7 Tahun Penjara dan denda 300 juta rupiah.

Kejanggalan yang kemudian keluar adalah angka 7 tahun penjara yang merupakan hanya sepertiga dari tuntutan yakni 20 tahun penjara. Berkaitan dengan ini, baik KUHP maupun KUHAP atau juga perundang-undangan lainnya tidak memberikan secara pasti bagaimana hitung-hitungan seseorang yang bersalah dihukum secara jelas berapa tahun dia dihukum.

Menurut Sudarto, KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidanastraftoemetingsleiddraad). Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum menyebabkan hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi atau rendahnya pidana. Bisa terjadi dalam suatu delik yang sama atau sifat berbahayanya sama tetapi pidananya tidak sama. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana dengan kehendaknya sendiri tanpa ukuran tertentu
.
Bahkan dalam Pasal 193 KUHAP dinyatakan bahwa (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Artinya bahwa penjatuhan pidana terhadap Kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan ini diserahkan pada keyakinan hakim, maka dengan demikian patut dipertanyakan kenapa majelis hakim menjatuhkan hukuman yang cukup ringan.

Disisi yang lain, patut dipertanyakan juga, kenapa Jaksa Penuntut Umum tidak menggunakan Pasal 12 B dan dan 38 B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengarahkan pada system pembuktian terbalik. Mengingat kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)sehingga penanganannya juga harus luar biasa (extra ordinary measure), maka sudah selayaknya pula Jaksa Penuntut Umum mempergunakan Pasal ini.

E. Rekomendasi
1. Perlu memeriksa Majelis Hakim Kasus Gayus Tambunan, karena patut diduga ada tekanan atau permainan sehingga sungguh aneh putusannyaa, disatu sisi semua dakwaan terbukti namun hukumannya jauh dari tuntutannya.
2. Pengambilan sikap untuk naik banding Jaksa Penuntut Umum merupakan hal yang tepat.
3. Mendorong agar Jaksa Penuntut Umum mempergunakan Pasal yang menganut system pembuktian terbalik yang sudah diadopsi oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Untuk segera melakukan perubahan KUHP, KUHAP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
5. Jangan sampai Penuntasan Mafia Pajak hanya di Gayus, tetapi harus keseluruh Mafia Pajak sampai ke akar-akarnya.
6. Pernyataan Gayus bahwa ada politisasi oleh Satgas Anti Mafia Hukum harus dibuktikan, bila perlu aparat penegak hukum memeriksa Satgas dan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup, harus diajukan ke Pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan saran dan kritik,